Natal dan Jalan Pembebasan

- Kamis, 29 Desember 2022 | 21:39 WIB
Shinta Maharani, Ketua AJI Yogyakarta dalam Perayaan Natal di GPdI Sedayu Bantul, Yogyakarta. (Doc. Shinta Maharani)
Shinta Maharani, Ketua AJI Yogyakarta dalam Perayaan Natal di GPdI Sedayu Bantul, Yogyakarta. (Doc. Shinta Maharani)

Oleh: Shinta Maharani*

Sore yang basah dikitari pepohonan lebat. Pujian terhadap Yesus berkumandang di Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Semua jemaat berdiri di gereja yang bangunannya setengah jadi. Mereka saling berbagi pucuk api satu sama lain, menyalakan lilin.

Saya ikut berdiri menyalakan lilin, tanpa melantunkan lagu. Saya bukan umat Kristiani dan bukan tergolong orang yang taat beribadah.

Tahun ini, saya ikut merayakan Natal, memenuhi undangan Pendeta Sitorus, rohaniwan GPdI Sedayu yang dihormati. Dia berpidato tentang makna Natal dan bersyukur karena jemaatnya akhirnya bisa beribadah setelah melewati perjuangan panjang. Gereja mendapatkan izin mendirikan bangunan di tempat yang baru.

Tiga tahun lalu, Suharsono, Bupati Bantul saat itu mencabut IMB gereja, berjarak 3 kilometer dari lokasi sekarang atas desakan sekelompok orang yang mempersoalkan keberadaan rumah ibadah Pendeta Sitorus. Mereka memusuhi Pendeta Sitorus dan keluarga.

Kecaman dan permusuhan itu bahkan membuat Pendeta Sitorus sakit lambung berhari-hari karena tertekan. Istrinya juga dimusuhi orang-orang yang merasa terusik dengan ibadah jemaat.

Pendeta Sitorus dan pendampingnya pernah mengajukan gugatan ke bupati karena pencabutan IMB itu. Tapi, di tengah jalan Pemerintah Bantul menawarkan relokasi atas nama jalan damai. Pendeta Sitorus menerima tawaran itu dan mencari tempat baru supaya jemaatnya tetap bisa beribadah.

Dia membeli lahan berupa tegalan. Sebagian jemaat gereja ini berasal dari Jawa Tengah yang harus menempuh jarak berkilo-kilo untuk sampai gereja. Untuk mencari tempat baru itu, Pendeta Sitorus harus berjibaku mengumpulkan tanda tangan persetujuan warga. Dia juga pontang panting mencari duit untuk membangun rumah Tuhan.

Dua tahun lalu mereka merayakan kelahiran Yesus hanya beratapkan terpal. Kini, bangunan dua lantai sudah hampir jadi. "Ini semua berkat Tuhan," kata Debora Sundari, istri Pendeta Sitorus.

Gelap tiba. Saatnya merayakan malam Natal dengan makan-makan setelah melihat jemaat dan keluarganya bersuka cita. Mereka sumringah menerima kado dari gereja. Jemaat yang beruntung dipanggil maju di dekat altar gereja.

Saya menyatap bakso yang dihidangkan seorang ibu berjilbab. Di dekat tempat prasmanan berdiri pondok penuh jerami.

Boneka telanjang berselimut kain berkelir putih jadi pusat perhatian. Orang langsung tahu inilah penggambaran kelahiran Yesus.

Saya langsung teringat Bunda Maria, tokoh sentral yang punya peran sangat penting bagi kelahiran juru selamat bagi umat Kristiani. Maria melahirkan Yesus yang kehamilannya penuh misteri.

Saya tak hendak bicara soal misteri itu karena pengetahuan saya yang terbatas. Di pondok yang melambangkan kesederhanaan ini, saya hanya berharap penolakan terhadap gereja yang berulang itu jadi perhatian banyak orang, bukan hanya umat Kristiani.

Halaman:

Editor: Manfred Kudiai

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Tanah Adat: Tanpamu Aku Rapuh

Jumat, 5 Mei 2023 | 10:00 WIB

Mengapa Saya Menjadi Agnostik?

Selasa, 11 April 2023 | 12:00 WIB

Apa Arti Kamis Putih?

Kamis, 6 April 2023 | 18:43 WIB

Para-para Kamp Wolker

Selasa, 14 Maret 2023 | 21:47 WIB

TNI Polri VS TPN PB: Bagaimana Nasib Warga Nduga Kini?

Minggu, 26 Februari 2023 | 22:15 WIB

Interaksi Sosial Masyarakat Nabire

Kamis, 2 Februari 2023 | 13:06 WIB

Generasi Paniai Diambang Kehancuran

Senin, 2 Januari 2023 | 18:55 WIB

Anak Kampung, Jadilah Terang bagi Keluargamu

Jumat, 30 Desember 2022 | 14:24 WIB

Kondisi Pelayanan Kesehatan di Wilayah Koya Koso

Jumat, 30 Desember 2022 | 04:44 WIB

Natal dan Jalan Pembebasan

Kamis, 29 Desember 2022 | 21:39 WIB

Modernisasi Belum Tentu Membuat Bahagia

Sabtu, 10 Desember 2022 | 08:22 WIB
X