The Papua Journal - Af+ermasks, sebuah tajuk pameran tunggal Hanafi, merupakan buah pengalaman serta pemikiran seni yang tumbuh di situasi pandemi Covid-19.
Hanafi adalah salah satu maestro seni rupa yang dimiliki Indonesia, ia lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 5 Juli 1960. Pameran Af+ermasks sudah direncanakan oleh penyelenggara, Heri Pemad Manajemen, sejak satu tahun terakhir.
Baca Juga: Indonesia - Selandia Baru Berkomunikasi Soal Pembebasan Pilot Susi Air
Acara ini juga dinanti oleh seniman maupun pecinta seni, sebagai ajang temu kangen, nostalgia sekaligus persembahan karya-karya mutakhir Hanafi. 47 tahun yang lalu, di Gampingan, Hanafi mulai mengenal seni rupa.
“Hanafi adalah sosok penting, seniman yang menginspirasi, ia juga membuka sebuah ruang untuk menjadi lokasi beraktivitas para seniman lintas disiplin,” terang Gading Paksi, promotor Heri Pemad Manajemen dalam media rilis yang diterima The Papua Journal Minggu (12/03).
Sebelum menjadi Jogja National Museum, nama Gampingan memiliki sejarah tersendiri bagi beberapa seniman.
Baca Juga: Fawawi Club Gelar Diskusi Buku Hidup Papua Suatu Misteri
Komplek ini pernah menjadi lokasi pendidikan seni rupa pertama di Indonesia yaitu Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI-1950) yang merupakan cikal bakal berdirinya Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, juga terdapat Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI). Hanafi aktif menjadi pelajar SSRI selama kurun 1976-1979.
Hanafi pernah mendapat predikat Top 10 Philip Morris Art Award 1997, sejak tahun 1992 ia telah melakukan banyak pameran tunggal dan bersama lebih dari 100 kali. Pamerannya kali ini kembali dikuratori oleh Agung Hujatnika.
Agung juga pernah mengkuratori pameran tunggal Hanafi sebelumnya, salah satunya Migrasi Kolong Meja (2013).
Baca Juga: Keputusan Menentukan Masa Depan
"Pameran ini dipenuhi lukisan-lukisan yang menghindar dari asosiasi langsung dan seketika dengan perspektif objek sehari-hari; yang hanya menonjolkan coretan garis-garis lengkung maupun lempeng yang bertumpuk, rumit, kusut, bidang atau blok warna yang saling tubruk dan menumpuk, sapuan kuas spontan dan bentangan kanvas yang luas,” kata Agung.
Masks dalam pameran ini tidak sedang membicarakan hal-ihwal pandemi belaka, sudah menjadi tabiat artistik Hanafi untuk merefleksikan sesuatu lalu mengekspresikannya dengan cara yang tidak langsung, jelas Agung.
Karya-karya Hanafi digarap di kawasan Depok pada tahun-tahun berat masa Pandemi Covid-19. Masker dalam karya-karya Hanafi memiliki filosofi tersendiri.
Artikel Terkait
Jurnalis Yogyakarta Sambut Hangat The Papua Journal
Seniman Apresiasi Rencana Konser Perdana Musik Tradisional
Jelang HUT-89 Injil Masuk di Ninati, Gereja Katolik Gelar Pentas Seni
Aktualisasi Diri Mahasiswa Biseksual di Salah Satu Kampus Swasta Yogyakarta
2 Toko Alat Musik di Yogyakarta yang Wajib Dikunjungi
2 Toko Peralatan Audio Recording Terlengkap di Yogyakarta
Festival Budaya Sejuta Rawa, Promosi Seni Kabupaten Mappi