The Papua Journal - Pemuda dan Mahasiswa dari Papua Selatan merespon isu gugatan masyarakat Adat Awyu kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua.
Mendengar gugatan yang dilaksanakan pada hari Senin (13/03), pemuda dan mahasiswa dari Papua Selatan mengaku telah dikejutkan dengan gugatan oleh Pejuang Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dari suku Awyu oleh Hendrikus Franky Woro dan kawan-kawan terkait izin lingkungan hidup yang dikeluarkan oleh DPMPTSP Provinsi Papua untuk Perusahaan Kelapa Sawit PT Indo Asiana Lestari.
Baca Juga: Full Access
Franky merupakan pemimpin bagi marga Woro, bagian dari Suku Awyu. Marga Woro mendiami Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel.
Laporan dari Greenpeace “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua mencatat, PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektare sejak 2017.
Perusahaan ini diduga dikendalikan oleh perusahaan asal Malaysia AII Asian Agro, yang juga memiliki perkebunan sawit di Sabah, Malaysia di bawah bendera perusahaan East West One. PT Indo Asiana Lestari Group yang sempat bakal menggarap Proyek di Tanah Merah di Boven Digoel.
Koordinator Gerakan Pemuda Papua Selatan Peduli Tanah Adat, Mario Mere mengatakan upaya masyarakat adat Suku Awyu mencari informasi sudah telah berlangsung sejak awal tahun 2022 lalu yang dipelopori oleh masyarakat adat, komunitas cinta tanah adat, dan komunitas paralegal yang beranggotakan warga suku Awyu dan telah meminta penjelasan dari sejumlah dinas, baik di Kabupaten Boven Digoel maupun di dinas tingkat Provinsi Papua.
“Izin kelayakan lingkungan hidup dikeluarkan berdasarkan Amdal yang bermasalah, tanpa mempertimbangkan keadaan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat di atas tanah adat, dan cacat substansi karena tak disertai analisis konservasi lingkungan,” tegasnya.
Baca Juga: 400 Prajurit TNI Dilepas Gubernur Sumbar, Jaga Perbatasan RI - Papua Nugini
Penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL diduga telah melanggar peraturan Perundang-undangan, yakni perarturan pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyusunan Amdal, dan bertentangan dengan undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Persoalan ini, kata Mario Mere, menegaskan bahwa pemerintah dalam hal ini telah gagal memaknai konsep kehidupan masyarakat adat, otoritarianisme agraria, dan deforestasi sebagai salah satu penyebab perubahan iklim. (Agustina Doo)
Artikel Terkait
Informasi Perizinan Ditutup, Perwakilan Masyarakat Adat Awyu Gugat DPMPTSP Provinsi Papua
Masyarakat Adat Mbaham Matta Tolak Konsultasi Publik PT Pabar Wana Perkasa
Masyarakat Adat Muyu Serahkan Dokumen Penolakan Bendungan Kepada Bupati Boven Digoel
Rosita Tecuari: Pemkab Jayapura Tidak Menghormati dan Melindungi Hak Masyarakat Adat
Masyarakat Adat Kebar Raya Dukung Musdat Pembentukan LEMATA
Di Kanada, Masyarakat Adat Papua Desak Komitmen Pemerintah Selamatkan Hutan
Pujiyono: KUHP Nasional Akui Hukum Masyarakat Adat
Buku dan Film Merebut Kendali Kehidupan: Refleksi, Perubahan dan Siasat Masyarakat Adat Diluncurkan
Ketua Koalisi: Riset Penelitian Koalisi Kampus Terkait Pergeseran yang Dihadapi Masyarakat Adat