The Papua Journal - Kehidupan masyarakat adat akan semakin termarginalkan jika mereka “dieksploitasi” lewat perampasan lahan yang berkedok pembangunan. Otoritarianisme Agraria sangat kental menghantui kehidupan masyarakat adat.
Baca Juga: Gempa Bumi Magnitudo 5.2 Guncang Yogyakarta
Hal tersebut dinyatakan Pemuda dan mahasiawa dari Papua Selatan bersolidaritas dengan PMKRI Cabang Sanctus Fransiskus Xaverius Merauke, Himpunan Mahasiswa/i Malind (HMM), Ikatan Mahasiswa/i Boven Digoel (IMADI), Ikatan Pelajar Dan Mahasiswa Kampung Sabon (IKBS), Ikatan Pelajar Dan Mahasiswa Kimaam Pantai Barat (IPMKPB), Ikatan Pelajar Dan Mahasiswa Kampong Bamol (IPMKB), Himpunan Mahasiswa Pegunungan (HMPJM), Lapak Baca Anim-Ha, Ikatan Mahasiswa/I Wiyagar (IMAWI) dan Pusaka dalam penyataan sikap.
Pihaknya menegaskan otoritarianisme penguasaan dan pengelolaan agraria menjadi mungkin antara lain karena adanya konsep “Tanah Milik Negara”.
Baca Juga: Polda Papua Minta Tambahan Brimob ke Mabes Polri
“Konsep tersebut memungkinkan penguasa untuk dengan mudah menguasai, mengatur, mengelola, memanfaatkan serta mendistribusikan tanah yang dikuasai kepada pihak lain sesuai kehendak mereka,” papar dalam pernyataan sikap yang diterima The Papua Journal, Sabtu (18/02).
Sementara itu, Koordinator Gerakan Pemuda Papua Selatan Peduli Tanah Adat, Mario Mere mengatakan klaim negara terhadap tanah di mana hutan itu tumbuh memudahkan penguasa untuk merampas dan memberikan hak kepada pengusaha-pengusaha swasta menanam modal di bidang usaha kehutanan, pertambangan, dan perkebunan besar tanpa mengedepankan aspek sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Baca Juga: Didimus Yahuli Liburkan Sekolah Karena Gangguan Keamanan di Yahukimo
Pihaknya juga menyinggung soal deforestasi. Jelasnya, salah satu penyebab utama dari pemanasan global adalah deforestasi.
“Deforestasi di wilayah Papua berkembang sangat pesat. Secara umum, luas hutan alam di bagian Selatan Papua telah banyak dibuka dan dibongkar untuk perkebunan kelapa sawit yang dimulai dari Merauke (Bupul, distrik Muting) serta sebagiannya di Boven Digoel (Asiki dan sekitarnya),” jelas Mere.
Penyebab deforestasi antara lain karena konversi kawasan hutan terutama untuk kepentingan Program Strategis Nasional (PSN), Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Kawasan Khusus Ekonomi (KEK) serta kegiatan ketahanan pangan. Kawasan hutan konservasi dan hutan lindung di Indonesia saat ini dalam keadaan terancam.
Baca Juga: Lukisan Berusia Ribuan Tahun di Kaimana
Tingkat keseriusan pemerintah dalam hal tersebut dinilai menjadi pertanyaan. Sebab menurut mereka masih saja ada kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada perlindungan dan keberlanjutan ekosistem alam termasuk lahan gambut.
“Indonesia bisa menurunkan emisi karbon 20-40 persen. Tetapi apakah Indonesia punya komitmen politik untuk mencapai target tersebut?” jelas dalam pernyataan sikap.
Artikel Terkait
Masyarakat Adat Tehit Mlaqya Dukung Bupati Sorong Selatan Tolak Kelapa Sawit
Masyarakat Adat Tehit Mlaqya Tolak Kehadiran Perusahaan Kelapa Sawit
Sikap Masyarakat Adat Tehit Mlaqya Tolak Perusahaan Kelapa Sawit
BPTH Turut Mengedukasi Generasi Usia Dini Papua seputar Isu Lingkungan
Pembangunan Bendungan, LBH Papua: Pemerintah Harus Hargai Keputusan Masyarakat Adat
Yayasan Pusaka: Pemerintah Harus Hargai Keputusan Masyarakat Adat Terkait Pembangunan Bendungan
Upaya Menjaga Lingkungan yang Bersih, UKM Dehaling Uncen Membuat Bak Sampah
Jhon Tebai Ajak Mahasiswa FK PMLHK Aktif Terhadap Isu HAM dan lingkungan